A.
Pendahuluan
Seiring
perkembangan zaman, ilmu semakin hari semakin berkembang, begitupun dengan
perkembangan filsafat. Tidak terkecuali Filsafat Barat. Makin lama filsafat itu
makin menjadi terpecah belah, menjadi filsafat Jerman, filsafat Perancis,
filsafat Inggris, filsafat Amerika, dan filsafat Rusia. Ternyata bahwa para
bangsa mengikuti jalannya sendiri-sendiri. Masing-masing membentuk
kepribadiannya sendiri-sendiri, dengan caranya sendiri-sendiri pula. Sekalipun
demikian semuanya itu masih juga menampakkan kesatuan, sebab bermacam-macam
pemikiran yang dikemukakan para bangsa itu sebenarnya hanya mewujudkan aspek
yang bermacam-macam dari satu keadaan.
Pada
zaman pertengahan sejarah dipengaruhi teologi, pada abad ke-19 oleh liberalisme
dan nasionalisme, dan pada abad ke-20 oleh marxisme. Reaksi terhadap moralisasi
sejarah sudah terjadi pada abad ke-19 ketika sejarah terpengaruh oleh aliran
filsafat postivisme dalam semua ilmu.[1]
B.
Hakikat Positivisme
Nama positivisme
diintroduksikan A. Comte dalam perbendaharaan kata filosofis, Barang tentu,
nama ini berasal dari kata "Positif'. Di sini kata "positif' sama
artinya dengan faktual (apa Yang berclasarkan fakta-fakta). Menurut
positivisme, pengetahuan kita tidak pernah boleh melebihi fakta-fakta, Sudah
nyata kiranya bahwa dengan demikian ilmu pengetahuan empiris diangkat menjadi
contoh istimewa dalam bidang pengetahuan pada umumnya. Filsafat juga harus
meneladan contoh itu.
Oleh karenanya tidak
mengherankan, bila positivisme menolak cabang filsafat Yang biasanya disebut
metafisika. Menanyakan "hakikat" benda-benda atau "penyebab Yang
sebenarnya", bagi positivisme tidak mempunyai arti apa pun juga. Ilmu
pengetahuan, termasuk juga filsafat, hanya menyelidiki fakta-fakta dan hubungan
Yang terdapat antara fakta-fakta. Tugas khusus filsafat ialah mengkoordinasi
ilmu-ilmu lain dan memperlihatkan kesatuan antara begitu banyak ilmu Yang
beraneka ragam coraknya. Tentu saja, maksud positivisme bersangkut paut dengan
apa Yang diciti-citakan oleh empirisme. Positivismejuga mengutamakan
pengalaman. Tetapi harus ditambah bahwa positivisme membatasi diri pada
pengalaman obyektif saja, sedangkan empirisme Inggris, seperti telah diuraikan
di atas, menerima juga pengalaman batiniah atau subyektif sebagai sumber
pengetahuan.
Pada awal abad kedua
puluh, filsafat di dominasi oleh aliran antimetafisis. Sains diklaim sebagai
ilmu sejati karena terbuka untuk dibenarkan dengan observasi dan eksperimen.
Pandangan antimetafisis sangat nyata dalam positivisme dan neopositivisme.
Aliran
positivisme ini pada zaman sekarang disebut saintisme. Tidak ada kenyataan
selain kenyataan yang dapat menjadi pokok science. Positivisme diteruskan dalam
neopositivisme[3].
Filsuf-filsuf aliran ini menemukan logika baru (logistik yang menjabarkan
hukum-hukum pikiran pada tulisan aljabar dan matematika.
Positivisme
yang menandai krisis pengetahuan Barat itu sebenarnya merupakan salah satu dari
sekian banyak aliran filsafat Barat, dan aliran ini berkembang sejak abad ke-19
dengan perintisnya Auguste Comte. Meski dalam beberapa segi positivisme
mengandung kebaruan, pandangan ini bukan barang yang sama sekali baru, karena
sebelum Kant sudah berkembang empirisme yang beberapa segi bersesuaian dengan positivisme[4].
Lebih tepatlah bila
dipandang bahwa positivisme merupakan peruncing trend sejarah pemikiran Barat
Modern yang telah mulai menyingsing sejak ambruknya tatanan dunia Abad
pertengahan, melalui rasionalisme dan empirisme. Apa yang baru dalam positivisme
adalah sorotan khususnya terhadap metodologi ilmu pengetahuan, bahkan dapat
dikatakan bahwa pandangan ini sangat menitikberatkan metodologi dalam refleksi
filsafatnnya. Kalau dalam empirisme dan rasionalisme pengetahuan masih
direfleksikan, dalam positivisme kedudukan
pengetahuan diganti metodologi, dan satu-satunaya metodologi yang
berkembang secara meyakinkan sejak Renaissance dan subur pada masa Aufklarung
adalah metodologi ilmu-ilmu alam[5].
Oleh karena itu, positivisme menempatkan
metodologi ilmu-ilmu alam pada ruang yang dulunya menjadi wilayah refleksi
epistemologi, yaitu pengetahuan manusia tentang kenyataan.
Sebagai
“teori kristis” Teori kritis merupakan teori yang refleksif. Artinya, teori itu
tidak langsung saja mengenai salah satu masalah, melainkan dalan menangani
sebuah masalah, iamenyadari dirinya sendiri, ia merefleksikan perannya sendiri
sebagai teori. Sifat reflektif Teori Kritis menjadi sangat terang dalam apa
yang kemudian dinamai “perselisihan Positivisme dalam sosiologi Jerman”[6].
Para
pemikir positivisme logis berpendapat bahwa tugas terpenting dari filsafat
adalah untuk merumuskan semacam kriteria penentuan untuk membedakan antara
pernyataan yang memadai dan pernyataan tidak memadai. Intinya, mereka ingin
merumuskan semacam aturan-aturan korepondensi, di mana observasi langsung
menguji suatu pernyataan dapat langsung dilakukan.
C.
Tokoh dan Pemikiran Positivisme
1.
August
Comte
AUGUSTE COMTE (1798 -
1857) beberapa tahun lamanya menjadi sekretaris pada seorang bangsawan Perancis
Yang bernama Henri de SaintSimon. Orang ini bergiat dalam bidang sosial
berhubungan dengan problem-problem baru Yang muncul pada waktu itu karena
lahirnya industri. Comte pasti sangat dipengaruhi oleh pemikiran Saint-Simon.
Karya Comte Yang utama adalah Cours de
philosophie positive (Kursus tentang filsafat positif) Yang terdiri dari
enam jiIid.
a.
Tiga
jaman
Pokok ajaran Comte Yang
terkenal adalah tanggapannya bahwa perkembangan pengetahuan manusia, baik
manusia perorangan maupun umat manusia sebagai keseluruhan, meliputi tiga
jaman. Bagi Comte perkembangan menurut tiga jaman ini merupakan suatu hukum
Yang tetap. Ketiga jaman ini masing-masing adalah: jaman teologis, jaman
metafisis dan jaman ilmiah atau positif.
1) Dalam jaman teologis manusia
percaya bahwa di belakang
gejala-gejala alam terdapat kuasa-kuasa adikodrati Yang mengatur fungsi dan gerak gejala-gejala
tersebut. Kuasa-kuasa ini dianggap sebagai makhluk Yang memiliki rasio dan
kehendak seperti manusla, tetapi orang percaya bahwa mereka berada pada
tingkatan lebih tinggi daripada makhluk-makhluk insani Yang biasa. Jaman
teologis itu sendiri dapat dibagikan lagi atas tiga periode. Pada taraf paling
primitif benda-benda sendiri dianggap berjiwa (animisme). Pada taraf berikutnya
manusia percaya pada dewa-dewa
Yang masing-masing menguasai suatu lapangan tertentu: dewa laut, dewa gunung,
dewa halilintar, dan sebagainya (politeisme). Dan pada taraf lebih tinggi lagi
manusia memandang satu Allah sebagai penguasa segala sesuatu (monoteisme).
2) Dalam jaman metafisis,
kuasa-ku asa ad i kodrati d i ganti dengan konsep-konsep dan prinsip-prinsip
Yang abstrak, seperti misalnya "kodrat" dan "penyebab".
Metafisika dijunjung tinggi dalam jaman ini.
3) Akhirnya dalam jaman positif sudah tidak diusahakan lagi untuk mencari penyebab-penyebab yang
terdapat di beIakang fakta-fakta. Dalam jaman tertinggi ini manusia membatasi diri pada
fakta-fakta Yang disajikan kepadanya. Atas dasar observasi dan dengan
menggunakan rasionya ia berusaha menetapkan relasi-relasi persamaan atau urutan
yang terdapat antara
fakta-fakta. Baru dalam jaman terakhir ini dihasilkan ilmu pengetahuan dalam
arti yang sebenarnya.
Seperti
sudah dikatakan di atas, menurut Comte hukum tiga jaman ini bukan saja berlaku
bagi perkembangan pengetahuan umat manusia seluruhnya, melainkan berlaku juga
bagi manusia perorangan. Sebagai anak setiap manusia berada dalam jaman
teologis, sebagai remaja ia masuk jaman metafisis, dan sebagai orang dewasa ia
mencapai jaman positif. Akhirnya, hukum tersebut berlaku juga untuk perkembangan
tiap-tiap ilmu. Mula-mula suatu ilmu bersifat teologis, lalu berubah menjadi
metafisis dan lama-kelamaan mencapai kematangan positif.
b.
Susunan
ilmu pengetahuan
Menurut
pendapat Comte tidak sernua ilmu mencapai kernatangan pada saat Yang sama. Oleh
karenanya menjadi mungkin melukiskan perkembangan ilmu pengetahuan berdasarkan
rumitnya bahan Yang dipelajari di dalamnya. Urutan perkembangan ilmu-ilmu
berlangsung demikian rupa sehingga yang satu selalu mengandaikan semua ilmu
Yang mendahuluinya. Dengan demikian Comte membedakan enam ilmu pokok:
matematika, astronomi, fisika, kimia, biologi dan sosiologi. Semua ilmu lain
dapat dijabarkan kepada salah satu dari keenam ilmu tersebut.
Matematika merupakan
ilmu yang paling fundamental dan menjadi pembantu bagi semua ilmu lainnya.
Selain relasi-relasi matematis, astronomi membicarakan juga gerak. Dalam fisika
ditambah lagi penelitian materi. Kimia membahas proses perubahan yang
berlangsung dalam materi. Biologi melangkah lebih jauh lagi dengan membicarakan
kehidupan. Akhimya sosiologi mengambil sebagai obyek penyelidikannya
gejala-gejala kemasyarakatan yang terdapat pada makhluk-makhluk yang hidup,
Dengan demikian sosiologi merupakan puncak dan penghabisan untuk usaha ilmiah
seluruhnya.
Sosiologi (istilah ini
untuk pertama kali dalam sejarah dibentuk oleh Comte sendiri) baru dapat
berkembang sesudah ilmu-ilmu lain telah mencapai kematangannya. Karena itulah
Comte beranggapan bahwa selaku pencipta ilmu sosiologi ia menghantar ilmu
pengetahuan masuk ke dalam taraf positifnya. Dengan merancangkan sosiologi,
Comte terutama mempunyai maksud praktis, yaitu atas dasar pengetahuan tentang
hukum-hukum yang menguasai masyarakat mengadakan susunan masyarakat yang lebih
sempuma.
Bagi Comte, ilmu
sejarah tidak bisa mencapai taraf ilmu pengetahuan yang sejati, karena tidak
mungkin menentukan relasi-relasi tetap, antara fakta-fakta historis. Ia
berpendapat juga bahwa suatu psikologi yang bersifat ilmiah harus dianggap
mustahil. Dalam psikologi, manusia mengusahakan suatu refleksi atas psikenya
sendiri. Tetapi usaha sedemikian itu tidak mungkin. Psikologi tidak memandang
fakta-fakta positif, melainkan pengalaman subyektif saja.
Bahwa pada akhir
hidupnya Comte berikhtiar membuat positivismenya menjadi semacam agama yang
meniru struktur agama katolik, bagi kita di sini tidak begitu penting.
2.
John
Stuart Mill
Karena filsafat Inggris
sudah mempunyai suatu tradisi empiristis yang mirip dengan positivisme Comte,
dapat dimengerti bahwa di Inggris terdapat perhatian-besar untuk karya-karya
Comte. Demikian juga JOHN STUART MILL (1806 - 1873) sangat mengagumi usaha positivisme
dan menjadi salah seorang sahabat Comte. ia juga mengarang buku tentang
filsafat Comte. Di sini kami hanya menyebut dua pokok ajaran Mill. Dengan
kedua-duanya ia menyimpang dari Comte. Pikiran-pikiran Mill tentang etika dan
politik terpaksa harus kita lewati.
Bertentangan dengan
Comte, Mill menerima psikologi sebagai ilmu, bahkan menurut dia psikologi
merupakan ilmu yang paling fundamental. Dalam hal ini Mill meneruskan pemikiran
ayahnya, James Mill (1773 - 1836), seorang filsuf dan psikolog yang terkenal
pada waktu itu. Psikologi mempelajari penginderaan-penginderaan
("sensations") dan cara susunannya. Susunan penginderaan-penginderaan
terjadi menurut asosiasi. Psikologi harus memperlihatkan bagaimana asosiasi
penginderaan satu dengan penginderaan lain diadakan menurut hukum-hukum tetap.
Itulah sebabnya psikologi merupakan dasar bagi semua ilmu lain, termasuk juga
logika.
Di
sini pantas disebut juga usaha Mil I untuk meneruskan prinsip-prinsip
positivisme dalam bidang logika. Karena seluruh pengetahuan kita berasal dari
pengalaman, maka satu-satunya metode dalam ilmu pengetahuan adalah metode
induktif, berarti metode yang merumuskan suatu hukum umum dengan bertitik tolak
dari dan berdasar pada sejumlah kasus khusus. Juga hukum-hukum logika merupakan
buah hasil induksi, di antaranya hukum kausalitas (sebab-akibat). Secara teliti
Mill melukiskan lima metode induktif untuk mencapai hubungan kausal antara
gejala-gejala.
3.
Herbert Spencer
Seluruh pernikiran
HERBERT S PENCER (1820 - 1903) berpusat pada teori evolusi. Dalam hal itu ia
mendahulul Charles Darwin. Sembilan tahun sebelum terbitnya karya Darwin yang
terkenal, The Origin of spesies
(1859), Spencer sudah menerbitkan sebuah buku tentang evolusi. Ketika ia
menginsyafi pentingnya prinsip evolusi dan terdorong pula oleh buku baru
karangan Darwin yang terbit pada tahun 1859, ia memutuskan untuk menulis karya
yang menerapkan prinsip evolusi secara sistematis-pada semua lapangan ilmu
pengetahuan. Hasilnya ialah karya yang berjudul A system of synthetic philosophy, yang terdiri dari sepuluh jilid
(1862 - 1896).
Menurut
Spencer kita hanya bisa mengenal fenomena-fenomena atau gejala-gejala saja.
Memang benar, di belakang gejala-gejala terdapat suatu dasar absolut, tetapi
yang absolut itu tidak dapat dikenal. Secara prinsipfil pengenalan kita
menyangkut tidak lebih daripada relasi-relasi antara gejala-gejala. Di belakang
gejala-gejala tinggallah apa yang disebut Spencer "the great Unknowable". Sudah nyata kiranya bahwa dengan
demikian Spencer menganggap mustahil tiap-tiap percobaan untuk merancang suatu
metafisika. Dan dalam bidang religius ia menolak baik teisme, maupun panteisme,
maupun juga ateisme. Sebaiknya ia dipanggil agnostisis, artinya ia berpendapat
bahwa dalam bidang religius secara prinsipfil kebenaran tidak dapat dicapai.
Setiap
ilmu harus membatasi diri pada pengertian tentang gejala-gejaIa. Tugas filsafat
ialah mempersatukan pengertian kita tentang gejala-gejala. Jika setiap ilmu
menggunakan prinsip-prinsip yang berlaku pada lapangan masing-masing, maka
filsafat harus mencari suatu prinsip yang berlaku untuk segala macam gejala.
Prinsip filosofis itu adalah hukum evolusi. Hukum ini bersifat sama sekali umum
dan diterapkan Spencer pada berbagai lapangan ilmiah (biologi, psikologi,
sosiologi, dan etika).
Spencer mengartikan
evolusi secara mekanistis, berarti bahwa hukumhukum gerak mengakibatkan
bagian-bagian materfil mencapai diferensiasi dan integrasi yang semakin besar.
Tetapi ia tidak mengakui adanya titik tujuan untuk evolusi sebagai keseluruhan.
Menurut dia tidak dapat dikatakan bahwa evolusi dunia terarah kepada suatu
tujuan tertentu. la berpendapat bahwa "evolution"
selalu merupakan puncak suatu proses, lalu menyusul "dissolution" (penghancuran). Kenyataan yang konkret dapat
dianggap sebagai suatu proses tak henti-hentinya di mana materi dan gerak yang
sama selalu disusun kembali, jika puncak evolusinya sudah dilewati.
Perbedaan materialisme
dengan positivisme dapat diterangkan sebagai berikut. Di atas sudah diuraikan
bahwa positivisme membatasi diri pada faktafakta. Yang ditolaknya ialah
tiap-tiap keterangan yang melampaui fakta-fakta. Karena alasan itulah dalam
rangka positivisme tidak ada tempat untuk metafisika. Materialisme mengatakan
bahwa realitas seluruhnya terdiri dari materi. Itu berarti bahwa tiap-tiap
benda atau kejadian dapat dijabarkan kepads materi atau salah satu proses
materfil. Kiranya sudah jelas bahwa materialisme mengakui kemungkinan
metafisika, karena materialisme sendiri berdasarkan suatu metafisika.
D.
Penutup
Pada abad ke-19 timbullah
filsafat yang disebut Postitivisme, yang diturunkan dari kata
"positif". Filsafat ini berpangkal dari apa yang telah diketahui,
yang faktual, yang positif. Segala uraian dan persoalan yang di luar apa yang
ada sebagai fakta atau kenyataan dikesampingkan. Oleh karena itu metafisika
ditolak.
Filsafat
Positivisme diantarkan oleh August Comte (1798 - 1857). Menurut Comte,
perkembangan pemikiran manusia berlangsu dalam 3 tahali atau 3 zaman, yaitu:
zaman teologis, zaman metafisis, zaman ilmiah atau zaman positif. Sedangkan
John Stuart Mill membedakan antara ilmu pengetahuan alarn dengan ilmu
pengetahuan rohani. Yang dimaksud dengan ilmu pengetahuan rohani ialah
psikologi, ajaran tentang kesusialaan (etologi) dan sosiologi. Ilmu sejarah
termasuk ilmu pengetahuan alam, artinya: Mill bermaksud meningkatkan ilmu
sejarah hingga menjadi ilmu eksakta.
Orang yang pengaruhnya
jauh lebih besar daripada Mill adalah Herbert Spencer (1820-1903) Menurut dia,
keterangan tentang dunia, baik yang bersifat religius maupun yang bersifat
metafisis, kedua-duanya menimbulkan hal-hal yang secara batiniah saling bertentangan.
Keduanya ingin memberi penjelasan tentang asal mula segala sesuatu. Padahal
manusia tidak dapat mengetahui hal itu. Oleh karenanya kita harus mengesampingkan
saja "Hal yang tak dapat dikenal" itu (the great Unknowable), dan-hanya menyibukkan diri dengan hal-hal
yang mungkin bagi kita. Kita harus berusaha mengetahui penampakan-penampakan
atau gejala-gejala yang telah kita kenal atau yang disajikan kepada kita (dikutip
dari dalarn bagian pertama bukunya “A
System of Synthetic philosophy”),
Dalam positivisme
adalah sorotan khususnya terhadap metodologi ilmu pengetahuan, bahkan dapat
dikatakan bahwa pandangan ini sangat menitikberatkan metodologi dalam refleksi
filsafatnnya.
Referensi
A.R Lacey. 1996. A ditionary of philosophy. New York: Routledge.
Adelbert Snijders.2006. Manusia dan Kebenaran: Sebuah Filsafat Pengetahuan. Yogyakarta:
Kanisius
F.udi Hardiman. 2003. Melampaui Positivisme dan Modenitas. Yogyakarta: Kanisius.
Harun Hadiwijino. 2011. Sari Sejarah Filsafat Barat 2.
Yogyakarta: Kanisius.
K. Bertens. 1998. Ringkasan Sejarah Filsafat. Yogyakarta: Kanisius.
Reza A.A Wattimena. Filsafat dan Sains: Sebuah Pengantar. Grasindo.
[1] Prof. DR. Kuntowijoyo. Pengantar
Ilmu Sejarah. 2005. Yogyakarta. Bentang Pustaka. Hal: 10
[2]
Positivism. Doctrin associated with COMTE who adopted the term ‘positive’ to convey six features of things; being real, useful, certain, precise organic,
relative. He used it of his , which
insisted on applying the scientific attitude not only to the sciences but also
to human affairs. (A ditionary of philosophy: 261, A.R Lacey. 1996. New York
penerbit: Routledge)
[3] F. Copleston, Ccontemporary
Philisophy, London: Burns & Oates, 1965, Bab I-IV.
[4] Positivisme dan empirisme
sama-sama memberi tekanan kepada pengalaman, tetapi positivisme, berbeda dari
empirisme, membatasi diri pada pengalaman objektif saja. Sedangkan empirisme
menerima juga pengalaman subjektif atau batiniah.
[5] Budi Hardiman, op.cit, hlm 127
[6] Uraian lebih terinci dapat
dibaca dalam F. Marnis-Suseno, 1992, 191-208.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar