Jumat, 11 Mei 2012

POSITIVISME: August Comte, John Stuart Mill, Herbert Spencer



A.               Pendahuluan
            Seiring perkembangan zaman, ilmu semakin hari semakin berkembang, begitupun dengan perkembangan filsafat. Tidak terkecuali Filsafat Barat. Makin lama filsafat itu makin menjadi terpecah belah, menjadi filsafat Jerman, filsafat Perancis, filsafat Inggris, filsafat Amerika, dan filsafat Rusia. Ternyata bahwa para bangsa mengikuti jalannya sendiri-sendiri. Masing-masing membentuk kepribadiannya sendiri-sendiri, dengan caranya sendiri-sendiri pula. Sekalipun demikian semuanya itu masih juga menampakkan kesatuan, sebab bermacam-macam pemikiran yang dikemukakan para bangsa itu sebenarnya hanya mewujudkan aspek yang bermacam-macam dari satu keadaan.
            Pada zaman pertengahan sejarah dipengaruhi teologi, pada abad ke-19 oleh liberalisme dan nasionalisme, dan pada abad ke-20 oleh marxisme. Reaksi terhadap moralisasi sejarah sudah terjadi pada abad ke-19 ketika sejarah terpengaruh oleh aliran filsafat postivisme dalam semua ilmu.[1]
Berdasarkan zamannya, filsafat barat dibagi menjadi tiga zaman, yaitu Filsafat Barat Klasik, Abad pertengahan dan Abad Modern. Dari berbagai zaman tersebut banyak melahirkan para filsuf barat ternama sampai sekarang. Memasuki Abad modern ada beberapa filosuf ternama seperti John Stuart Mill, Herbert Spencer, August Comte,  dan lain sebagainya. Mereka membawa sebuah teori mengenai Positivisme[2]. Apa itu positivisme menurut ketiga filosuf tersebut? Dan bagaimana teori tersebut berkembang di barat serta apa kegunaan dari positivisme bagi kehidupan masa lahir, perkembangan dan masa sekarang?
B.       Hakikat Positivisme
Nama positivisme diintroduksikan A. Comte dalam perbendaharaan kata filosofis, Barang tentu, nama ini berasal dari kata "Positif'. Di sini kata "positif' sama artinya dengan faktual (apa Yang berclasarkan fakta-fakta). Menurut positivisme, pengetahuan kita tidak pernah boleh melebihi fakta-fakta, Sudah nyata kiranya bahwa dengan demikian ilmu pengetahuan empiris diangkat menjadi contoh istimewa dalam bidang pengetahuan pada umumnya. Filsafat juga harus meneladan contoh itu.
Oleh karenanya tidak mengherankan, bila positivisme menolak cabang filsafat Yang biasanya disebut metafisika. Menanyakan "hakikat" benda-benda atau "penyebab Yang sebenarnya", bagi positivisme tidak mempunyai arti apa pun juga. Ilmu pengetahuan, termasuk juga filsafat, hanya menyelidiki fakta-fakta dan hubungan Yang terdapat antara fakta-fakta. Tugas khusus filsafat ialah mengkoordinasi ilmu-ilmu lain dan memperlihatkan kesatuan antara begitu banyak ilmu Yang beraneka ragam coraknya. Tentu saja, maksud positivisme bersangkut paut dengan apa Yang diciti-citakan oleh empirisme. Positivismejuga mengutamakan pengalaman. Tetapi harus ditambah bahwa positivisme membatasi diri pada pengalaman obyektif saja, sedangkan empirisme Inggris, seperti telah diuraikan di atas, menerima juga pengalaman batiniah atau subyektif sebagai sumber pengetahuan.
Pada awal abad kedua puluh, filsafat di dominasi oleh aliran antimetafisis. Sains diklaim sebagai ilmu sejati karena terbuka untuk dibenarkan dengan observasi dan eksperimen. Pandangan antimetafisis sangat nyata dalam positivisme dan neopositivisme.
            Aliran positivisme ini pada zaman sekarang disebut saintisme. Tidak ada kenyataan selain kenyataan yang dapat menjadi pokok science. Positivisme diteruskan dalam neopositivisme[3]. Filsuf-filsuf aliran ini menemukan logika baru (logistik yang menjabarkan hukum-hukum pikiran pada tulisan aljabar dan matematika.
            Positivisme yang menandai krisis pengetahuan Barat itu sebenarnya merupakan salah satu dari sekian banyak aliran filsafat Barat, dan aliran ini berkembang sejak abad ke-19 dengan perintisnya Auguste Comte. Meski dalam beberapa segi positivisme mengandung kebaruan, pandangan ini bukan barang yang sama sekali baru, karena sebelum Kant sudah berkembang empirisme yang beberapa segi bersesuaian dengan positivisme[4].
Lebih tepatlah bila dipandang bahwa positivisme merupakan peruncing trend sejarah pemikiran Barat Modern yang telah mulai menyingsing sejak ambruknya tatanan dunia Abad pertengahan, melalui rasionalisme dan empirisme. Apa yang baru dalam positivisme adalah sorotan khususnya terhadap metodologi ilmu pengetahuan, bahkan dapat dikatakan bahwa pandangan ini sangat menitikberatkan metodologi dalam refleksi filsafatnnya. Kalau dalam empirisme dan rasionalisme pengetahuan masih direfleksikan, dalam positivisme kedudukan  pengetahuan diganti metodologi, dan satu-satunaya metodologi yang berkembang secara meyakinkan sejak Renaissance dan subur pada masa Aufklarung adalah metodologi ilmu-ilmu alam[5].
Oleh  karena itu, positivisme menempatkan metodologi ilmu-ilmu alam pada ruang yang dulunya menjadi wilayah refleksi epistemologi, yaitu pengetahuan manusia tentang kenyataan.
            Sebagai “teori kristis” Teori kritis merupakan teori yang refleksif. Artinya, teori itu tidak langsung saja mengenai salah satu masalah, melainkan dalan menangani sebuah masalah, iamenyadari dirinya sendiri, ia merefleksikan perannya sendiri sebagai teori. Sifat reflektif Teori Kritis menjadi sangat terang dalam apa yang kemudian dinamai “perselisihan Positivisme dalam sosiologi Jerman”[6].
            Para pemikir positivisme logis berpendapat bahwa tugas terpenting dari filsafat adalah untuk merumuskan semacam kriteria penentuan untuk membedakan antara pernyataan yang memadai dan pernyataan tidak memadai. Intinya, mereka ingin merumuskan semacam aturan-aturan korepondensi, di mana observasi langsung menguji suatu pernyataan dapat langsung dilakukan.

C.  Tokoh dan Pemikiran Positivisme
1.      August Comte
AUGUSTE COMTE (1798 - 1857) beberapa tahun lamanya menjadi sekretaris pada seorang bangsawan Perancis Yang bernama Henri de SaintSimon. Orang ini bergiat dalam bidang sosial berhubungan dengan problem-problem baru Yang muncul pada waktu itu karena lahirnya industri. Comte pasti sangat dipengaruhi oleh pemikiran Saint-Simon. Karya Comte Yang utama adalah Cours de philosophie positive (Kursus tentang filsafat positif) Yang terdiri dari enam jiIid.
a.      Tiga jaman
Pokok ajaran Comte Yang terkenal adalah tanggapannya bahwa perkembangan pengetahuan manusia, baik manusia perorangan maupun umat manusia sebagai keseluruhan, meliputi tiga jaman. Bagi Comte perkembangan menurut tiga jaman ini merupakan suatu hukum Yang tetap. Ketiga jaman ini masing-masing adalah: jaman teologis, jaman metafisis dan jaman ilmiah atau positif.
1)      Dalam jaman teologis manusia percaya bahwa di belakang gejala-gejala alam terdapat kuasa-kuasa adikodrati Yang mengatur fungsi dan gerak gejala-gejala tersebut. Kuasa-kuasa ini dianggap sebagai makhluk Yang memiliki rasio dan kehendak seperti manusla, tetapi orang percaya bahwa mereka berada pada tingkatan lebih tinggi daripada makhluk-makhluk insani Yang biasa. Jaman teologis itu sendiri dapat dibagikan lagi atas tiga periode. Pada taraf paling primitif benda-benda sendiri dianggap berjiwa (animisme). Pada taraf berikutnya manusia percaya pada dewa-dewa Yang masing-masing menguasai suatu lapangan tertentu: dewa laut, dewa gunung, dewa halilintar, dan sebagainya (politeisme). Dan pada taraf lebih tinggi lagi manusia memandang satu Allah sebagai penguasa segala sesuatu (monoteisme).
2)      Dalam jaman metafisis, kuasa-ku asa ad i kodrati d i ganti dengan konsep-konsep dan prinsip-prinsip Yang abstrak, seperti misalnya "kodrat" dan "penyebab". Metafisika dijunjung tinggi dalam jaman ini.
3)      Akhirnya dalam jaman positif sudah tidak diusahakan lagi untuk mencari penyebab-penyebab yang terdapat di beIakang fakta-fakta. Dalam jaman tertinggi ini manusia membatasi diri pada fakta-fakta Yang disajikan kepadanya. Atas dasar observasi dan dengan menggunakan rasionya ia berusaha menetapkan relasi-relasi persamaan atau urutan yang terdapat antara fakta-fakta. Baru dalam jaman terakhir ini dihasilkan ilmu pengetahuan dalam arti yang sebenarnya.
Seperti sudah dikatakan di atas, menurut Comte hukum tiga jaman ini bukan saja berlaku bagi perkembangan pengetahuan umat manusia seluruhnya, melainkan berlaku juga bagi manusia perorangan. Sebagai anak setiap manusia berada dalam jaman teologis, sebagai remaja ia masuk jaman metafisis, dan sebagai orang dewasa ia mencapai jaman positif. Akhirnya, hukum tersebut berlaku juga untuk perkembangan tiap-tiap ilmu. Mula-mula suatu ilmu bersifat teologis, lalu berubah menjadi metafisis dan lama-kelamaan mencapai kematangan positif.

b.      Susunan ilmu pengetahuan
Menurut pendapat Comte tidak sernua ilmu mencapai kernatangan pada saat Yang sama. Oleh karenanya menjadi mungkin melukiskan perkembangan ilmu pengetahuan berdasarkan rumitnya bahan Yang dipelajari di dalamnya. Urutan perkembangan ilmu-ilmu berlangsung demikian rupa sehingga yang satu selalu mengandaikan semua ilmu Yang mendahuluinya. Dengan demikian Comte membedakan enam ilmu pokok: matematika, astronomi, fisika, kimia, biologi dan sosiologi. Semua ilmu lain dapat dijabarkan kepada salah satu dari keenam ilmu tersebut.
Matematika merupakan ilmu yang paling fundamental dan menjadi pembantu bagi semua ilmu lainnya. Selain relasi-relasi matematis, astronomi membicarakan juga gerak. Dalam fisika ditambah lagi penelitian materi. Kimia membahas proses perubahan yang berlangsung dalam materi. Biologi melangkah lebih jauh lagi dengan membicarakan kehidupan. Akhimya sosiologi mengambil sebagai obyek penyelidikannya gejala-gejala kemasyarakatan yang terdapat pada makhluk-makhluk yang hidup, Dengan demikian sosiologi merupakan puncak dan penghabisan untuk usaha ilmiah seluruhnya.
Sosiologi (istilah ini untuk pertama kali dalam sejarah dibentuk oleh Comte sendiri) baru dapat berkembang sesudah ilmu-ilmu lain telah mencapai kematangannya. Karena itulah Comte beranggapan bahwa selaku pencipta ilmu sosiologi ia menghantar ilmu pengetahuan masuk ke dalam taraf positifnya. Dengan merancangkan sosiologi, Comte terutama mempunyai maksud praktis, yaitu atas dasar pengetahuan tentang hukum-hukum yang menguasai masyarakat mengadakan susunan masyarakat yang lebih sempuma.
Bagi Comte, ilmu sejarah tidak bisa mencapai taraf ilmu pengetahuan yang sejati, karena tidak mungkin menentukan relasi-relasi tetap, antara fakta-fakta historis. Ia berpendapat juga bahwa suatu psikologi yang bersifat ilmiah harus dianggap mustahil. Dalam psikologi, manusia mengusahakan suatu refleksi atas psikenya sendiri. Tetapi usaha sedemikian itu tidak mungkin. Psikologi tidak memandang fakta-fakta positif, melainkan pengalaman subyektif saja.
Bahwa pada akhir hidupnya Comte berikhtiar membuat positivismenya menjadi semacam agama yang meniru struktur agama katolik, bagi kita di sini tidak begitu penting.

2.      John Stuart Mill
Karena filsafat Inggris sudah mempunyai suatu tradisi empiristis yang mirip dengan positivisme Comte, dapat dimengerti bahwa di Inggris terdapat perhatian-besar untuk karya-karya Comte. Demikian juga JOHN STUART MILL (1806 - 1873) sangat mengagumi usaha positivisme dan menjadi salah seorang sahabat Comte. ia juga mengarang buku tentang filsafat Comte. Di sini kami hanya menyebut dua pokok ajaran Mill. Dengan kedua-duanya ia menyimpang dari Comte. Pikiran-pikiran Mill tentang etika dan politik terpaksa harus kita lewati.
Bertentangan dengan Comte, Mill menerima psikologi sebagai ilmu, bahkan menurut dia psikologi merupakan ilmu yang paling fundamental. Dalam hal ini Mill meneruskan pemikiran ayahnya, James Mill (1773 - 1836), seorang filsuf dan psikolog yang terkenal pada waktu itu. Psikologi mempelajari penginderaan-penginderaan ("sensations") dan cara susunannya. Susunan penginderaan-penginderaan terjadi menurut asosiasi. Psikologi harus memperlihatkan bagaimana asosiasi penginderaan satu dengan penginderaan lain diadakan menurut hukum-hukum tetap. Itulah sebabnya psikologi merupakan dasar bagi semua ilmu lain, termasuk juga logika.
Di sini pantas disebut juga usaha Mil I untuk meneruskan prinsip-prinsip positivisme dalam bidang logika. Karena seluruh pengetahuan kita berasal dari pengalaman, maka satu-satunya metode dalam ilmu pengetahuan adalah metode induktif, berarti metode yang merumuskan suatu hukum umum dengan bertitik tolak dari dan berdasar pada sejumlah kasus khusus. Juga hukum-hukum logika merupakan buah hasil induksi, di antaranya hukum kausalitas (sebab-akibat). Secara teliti Mill melukiskan lima metode induktif untuk mencapai hubungan kausal antara gejala-gejala.

3.      Herbert Spencer
Seluruh pernikiran HERBERT S PENCER (1820 - 1903) berpusat pada teori evolusi. Dalam hal itu ia mendahulul Charles Darwin. Sembilan tahun sebelum terbitnya karya Darwin yang terkenal, The Origin of spesies (1859), Spencer sudah menerbitkan sebuah buku tentang evolusi. Ketika ia menginsyafi pentingnya prinsip evolusi dan terdorong pula oleh buku baru karangan Darwin yang terbit pada tahun 1859, ia memutuskan untuk menulis karya yang menerapkan prinsip evolusi secara sistematis-pada semua lapangan ilmu pengetahuan. Hasilnya ialah karya yang berjudul A system of synthetic philosophy, yang terdiri dari sepuluh jilid (1862 - 1896).
Menurut Spencer kita hanya bisa mengenal fenomena-fenomena atau gejala-gejala saja. Memang benar, di belakang gejala-gejala terdapat suatu dasar absolut, tetapi yang absolut itu tidak dapat dikenal. Secara prinsipfil pengenalan kita menyangkut tidak lebih daripada relasi-relasi antara gejala-gejala. Di belakang gejala-gejala tinggallah apa yang disebut Spencer "the great Unknowable". Sudah nyata kiranya bahwa dengan demikian Spencer menganggap mustahil tiap-tiap percobaan untuk merancang suatu metafisika. Dan dalam bidang religius ia menolak baik teisme, maupun panteisme, maupun juga ateisme. Sebaiknya ia dipanggil agnostisis, artinya ia berpendapat bahwa dalam bidang religius secara prinsipfil kebenaran tidak dapat dicapai.
Setiap ilmu harus membatasi diri pada pengertian tentang gejala-gejaIa. Tugas filsafat ialah mempersatukan pengertian kita tentang gejala-gejala. Jika setiap ilmu menggunakan prinsip-prinsip yang berlaku pada lapangan masing-masing, maka filsafat harus mencari suatu prinsip yang berlaku untuk segala macam gejala. Prinsip filosofis itu adalah hukum evolusi. Hukum ini bersifat sama sekali umum dan diterapkan Spencer pada berbagai lapangan ilmiah (biologi, psikologi, sosiologi, dan etika).
Spencer mengartikan evolusi secara mekanistis, berarti bahwa hukumhukum gerak mengakibatkan bagian-bagian materfil mencapai diferensiasi dan integrasi yang semakin besar. Tetapi ia tidak mengakui adanya titik tujuan untuk evolusi sebagai keseluruhan. Menurut dia tidak dapat dikatakan bahwa evolusi dunia terarah kepada suatu tujuan tertentu. la berpendapat bahwa "evolution" selalu merupakan puncak suatu proses, lalu menyusul "dissolution" (penghancuran). Kenyataan yang konkret dapat dianggap sebagai suatu proses tak henti-hentinya di mana materi dan gerak yang sama selalu disusun kembali, jika puncak evolusinya sudah dilewati.
Perbedaan materialisme dengan positivisme dapat diterangkan sebagai berikut. Di atas sudah diuraikan bahwa positivisme membatasi diri pada faktafakta. Yang ditolaknya ialah tiap-tiap keterangan yang melampaui fakta-fakta. Karena alasan itulah dalam rangka positivisme tidak ada tempat untuk metafisika. Materialisme mengatakan bahwa realitas seluruhnya terdiri dari materi. Itu berarti bahwa tiap-tiap benda atau kejadian dapat dijabarkan kepads materi atau salah satu proses materfil. Kiranya sudah jelas bahwa materialisme mengakui kemungkinan metafisika, karena materialisme sendiri berdasarkan suatu metafisika.

D.      Penutup
Pada abad ke-19 timbullah filsafat yang disebut Postitivisme, yang diturunkan dari kata "positif". Filsafat ini berpangkal dari apa yang telah diketahui, yang faktual, yang positif. Segala uraian dan persoalan yang di luar apa yang ada sebagai fakta atau kenyataan dikesampingkan. Oleh karena itu metafisika ditolak.
Filsafat Positivisme diantarkan oleh August Comte (1798 - 1857). Menurut Comte, perkembangan pemikiran manusia berlangsu dalam 3 tahali atau 3 zaman, yaitu: zaman teologis, zaman metafisis, zaman ilmiah atau zaman positif. Sedangkan John Stuart Mill membedakan antara ilmu pengetahuan alarn dengan ilmu pengetahuan rohani. Yang dimaksud dengan ilmu pengetahuan rohani ialah psikologi, ajaran tentang kesusialaan (etologi) dan sosiologi. Ilmu sejarah termasuk ilmu pengetahuan alam, artinya: Mill bermaksud meningkatkan ilmu sejarah hingga menjadi ilmu eksakta.
Orang yang pengaruhnya jauh lebih besar daripada Mill adalah Herbert Spencer (1820-1903) Menurut dia, keterangan tentang dunia, baik yang bersifat religius maupun yang bersifat metafisis, kedua-duanya menimbulkan hal-hal yang secara batiniah saling bertentangan. Keduanya ingin memberi penjelasan tentang asal mula segala sesuatu. Padahal manusia tidak dapat mengetahui hal itu. Oleh karenanya kita harus mengesampingkan saja "Hal yang tak dapat dikenal" itu (the great Unknowable), dan-hanya menyibukkan diri dengan hal-hal yang mungkin bagi kita. Kita harus berusaha mengetahui penampakan-penampakan atau gejala-gejala yang telah kita kenal atau yang disajikan kepada kita (dikutip dari dalarn bagian pertama bukunya “A System of Synthetic philosophy”),
Dalam positivisme adalah sorotan khususnya terhadap metodologi ilmu pengetahuan, bahkan dapat dikatakan bahwa pandangan ini sangat menitikberatkan metodologi dalam refleksi filsafatnnya.

Referensi
A.R Lacey. 1996. A ditionary of philosophy. New York: Routledge.
Adelbert Snijders.2006. Manusia dan Kebenaran: Sebuah Filsafat Pengetahuan. Yogyakarta: Kanisius
F.udi Hardiman. 2003. Melampaui Positivisme dan Modenitas. Yogyakarta: Kanisius.
Harun Hadiwijino. 2011. Sari Sejarah Filsafat Barat 2. Yogyakarta: Kanisius.
K. Bertens. 1998. Ringkasan Sejarah Filsafat. Yogyakarta: Kanisius.
Reza A.A Wattimena. Filsafat dan Sains: Sebuah Pengantar. Grasindo.


[1] Prof. DR. Kuntowijoyo. Pengantar Ilmu Sejarah. 2005. Yogyakarta. Bentang Pustaka. Hal: 10
[2] Positivism. Doctrin associated with COMTE who adopted the term ‘positive’  to convey six features of things;  being real, useful, certain, precise organic, relative. He used it of his  , which insisted on applying the scientific attitude not only to the sciences but also to human affairs. (A ditionary of philosophy: 261, A.R Lacey. 1996. New York penerbit: Routledge)

[3] F. Copleston, Ccontemporary Philisophy, London: Burns & Oates, 1965, Bab I-IV.
[4] Positivisme dan empirisme sama-sama memberi tekanan kepada pengalaman, tetapi positivisme, berbeda dari empirisme, membatasi diri pada pengalaman objektif saja. Sedangkan empirisme menerima juga pengalaman subjektif atau batiniah.
[5] Budi Hardiman, op.cit, hlm 127
[6] Uraian lebih terinci dapat dibaca dalam F. Marnis-Suseno, 1992, 191-208.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar